Thursday, May 8, 2008

Menatap Wajah Pendidikan Politik Kita

Oleh: ZAINUDDIN

Jika pendidikan politik dipahami sebagai proses yang mengantarkan masyarakat hidup dalam bangun budaya politik yang demokratis, maka pilihan yang wajar bila proses itu mendapat appresiasi dan tidak setengah hati melaksanakannya. Pendidikan politik yang stagnan, dibiarkan berjalan lamban, tidak menentu, menjadi hambatan bagi sistem politik untuk dapat bekerja dalam kultur yang kondusif. Bagaimanapun canggihnya konstruksi sistem politik yang dibangun, tanpa ada dukungan budaya politik yang kokoh, mustahil sistem itu dapat berproses efisien dan efektif.

Kultur dan Pendidikan Politik

Berkembangnya budaya politik yang demokratis ditandai dengan adanya nilai-nilai dasar kehidupan seperti keadilan, kejujuran, kebebasan, kebersamaan dan sebagainya yang terpantul dalam sikap, perilaku, komunikasi dan interaksi politik yang diperankan oleh siapa saja yang terlibat dalam kehidupan politik. Secara dinamis nilai-nilai dasar itu terkondisikan dalam kultur politik sehingga sistem dan dinamika politik yang dijalankan mempunyai ukuran-ukuran yang lumrah, obyektif dan rasional. Kultur itu sejatinya menopang gerak politik dalam mekanisme dan prosedur yang lugas dan konsisten.

Budaya politik itu tumbuh dan berkembang melalui proses pendidikan politik. Pendidikan itu melibatkan anggota masyarakat dalam proses transformasi yang terus menerus dalam berbagai bentuk tampilan, kegiatan, pengalaman, peristiwa dan pergumulan lainnya, yang murni bersifat politik, atau mempunyai nuansa/perspektif politik. Dengan proses itu nilai-nilai dasar yang diyakini disosialisasikan sehingga mempengaruhi orientasi, sikap dan tingkah laku. Jika disederhanakan, dari proses itulah tampaknya budaya politik itu tumbuh.

Misi menumbuhkembangkan budaya politik terutama dipegang oleh para pemimpin, tokoh, aktivis dan intelektual yang dengan sungguh-sungguh memusatkan perhatian dan peran mereka dalam kegiatan-kegiatan, yang secara langsung atau tidak bersentuhan dengan kehidupan politik. Mereka layaknya menjadi aktor yang mempunyai pengaruh dalam kancah politik. Performans mereka tidak saja menentukan proses pengambilan keputusan dalam sistem politik, tetapi juga membawa pengaruh bagi proses pendidikan politik. Apa yang mereka lakukan dalam peran-peran itu disaksikan dan dipahami sebagai pancaran nilai-nilai politik yang diidealkan. Intensitas pergumulan mereka dalam panggung politik berpengaruh dan turut membentuk orientasi masyarakat.

Karena peran dan pengaruh itu, mereka sebenarnya adalah agen pendidikan politik. Dalam fungsi ini, performans dan aktivitas mereka membawa efek transformatif bagi tumbuh dan berkembangnya budaya politik.

Dalam konteks pengembangan budaya politik yang demokratis, sebagai amanat pokok pendidikan politik, tumpuan utama terletak pada mereka yang tekun berperan dalam kehidupan politik itu. Jika mereka konsisten menjalankan peran-peran itu secara demokratis maka ikhtiar itulah yang menjadi isi pesan pendidikan politik. Dan pesan-pesan itu pula yang akan berhembus dalam kehidupan masyarakat. Tidak sulit bagi masyarakat untuk menerima dan “meniru” pesan-pesan itu. Bukan saja karena telah diidealkan, tetapi juga karena telah teruji dalam kegiatan-kegiatan senyatanya oleh andalan mereka.

Reformasi dan Wajah Seram

Langkah nyata dalam reformasi politik di negeri ini telah ditempuh. Bahkan dalam porsi yang jauh lebih banyak dan menonjol ketimbang bidang-bidang yang lain. Ironisnya, belum ada tanda-tanda bahwa pencerahan kehidupan masyarakat akan datang dari bidang ini. Rumit dan berlarut-larutnya krisis multidimensi yang melanda masyarakat, penyebabnya justru ditudingkan pada aspek kekuasaan ini. Belum ada kebijakan umum yang lahir dari lembaga politik yang benar-benar dapat merespon tuntutan masyarakat berkenaan dengan krisis berkepanjangan ini. Politisi/elit politik seolah tidak pernah kehabisan energi untuk bertarung sesama mereka. Tidak jelas benar budaya politik apa yang menggerakkan semangat mereka itu. Karena “kultur” yang tidak kondusif itu sistem politik yang ada belum mampu menunjukkan efisiensi dan efektivitas kinerjanya.

Dalam keadaan seperti itulah pendidikan politik rakyat dijalankan. Ada memang dinamika yang tentu saja mempunyai efek transformatif. Tetapi dinamika yang ditampilkan penuh dengan tarik-menarik kepentingan antar aliran/kelompok yang tidak habis-habisnya. Isu kerakyatan/kemasyarakatan secara kental dipahami menurut interest politik mereka masing-masing, yang sulit dikompromikan kecuali dengan adu “kekuatan”. Terkesan memang ada kebebasan, tetapi kebebasan yang sangat memprihatinkan, karena luput dari kendali etika yang menjunjung tinggi nilai keadilan, kejujuran dan kebersamaan. Akibatnya bumi politik negeri ini penuh dengan prasangka buruk, dendam, intrik, hujatan, saling jegal, dan penghuni lain yang tidak kalah seramnya. Dari kabut gelap mencekam itulah berhembusnya pesan-pesan pendidikan politik.

Proses pendidikan politik tidak pernah akan berhenti selama masyarakat ini ada. Akan tetapi jika wajah seram itu dibiarkan terus menghiasinya, maka sulit ditemukan efektivitasnya bagi pengembangan budaya politik yang demokratis. Implikasinya, masyarakat luas jangan diharap akan sanggup dengan sendirinya menghayati budaya demokrasi itu dengan tulus dan benar. Mereka juga kian “berani” menunjukkan perilaku yang jauh dari takaran demokrasi. Begitu juga akan sulit dijawab, sampai kapan wajah politik di negeri ini berubah dari carut-marut dan seram, menjadi tegas tetapi manis dan ramah. Kapan politik itu akan membawa berkah bagi ketenteraman dan kesejahteraan rakyat.

Terlalu banyak ongkos dibayar sia-sia jika politik dibiarkan manja tanpa orientasi yang jelas. Banyak masalah negeri yang berlarut-larut tak terselesaikan bahkan tampak kian rumit dan bereskalasi. Masyarakat terkungkung dalam wawasan politik yang sempit, potensial menimbulkan permusuhan dan perpecahan. Mereka juga mudah terprovokasi untuk memaksakan kehendak dengan mengandalkan kekuatan massa, membakar, main keroyok dan sebagainya. Solidaritas yang berbobot sosial, kebangsaan dan kemanusiaan, terhimpit oleh garangnya nafsu dendam yang tidak kunjung reda.

Belum ada kekuatan menonjol yang secara meyakinkan sanggup membendung keadaan mencekam itu. Ini lantaran kekuatan-kekuatan yang ada belum mampu menjalin hubungan saling percaya dan tulus demi rakyat banyak. Mereka baru bisa bermesraan jika ada kepentingan sesaat yang menurut kalkulasi politik akan saling menguntungkan. Perhitungan laba rugi itu menunjuk pada interest kelompok masing-masing, bukan pada kepentingan politik negara yang lebih komprehensif, mencakup hajat hidup orang banyak.

Berpulang pada Elite

Gerak kehidupan politik tidak pernah hampa, di dalamnya selalu ada muatan pendidikan. Muatan itu sangat penting. Besar risikonya bila muatan itu diabaikan. Politik menjadi lemah dan rapuh, tidak berkarakter dan tak punya integritas. Selalu dicemooh dan dituding sebagai sisi kehidupan yang kotor.

Jadi disadari atau tidak, kepentingan masyarakat akan pendidikan politik sama urgennya dengan kepentingan mereka akan politik itu sendiri. Dimensi pendidikan dalam politik menggerakkan budaya politik sehingga kekuasaan itu mempunyai performans yang kuat dan energik sekaligus elok dan santun. Dengan wibawa itu kekuasaan tidak mudah bersalahguna, tetapi ia akan lurus dan tegas dalam fungsi dan pengabdiannya.

Namun amanat pendidikan politik itu seakan tenggelam jauh di dasar kubangan. Belum tampak ada sentuhan perhatian yang tulus sehingga terkesan terabaikan. Kesibukan dan hiruk-pikuknya politik saat ini sarat dengan kepentingan-kepentingan subyektif, dangkal dan jangka pendek. Tidak ada muatan pendidikan politik yang berarti, yang secara signifikan memancarkan efek transformatif bagi pengembangan budaya politik yang demokratis.

Meski terdapat banyak pilihan untuk mencairkan kebekuan ini, namun rujukan yang paling kuat tetap ada pada elit politik. Seyogyanya mereka memberikan appresiasi tinggi, dan memperhatikan pendidikan politik sepenuh hati.

Penulis adalah pendidik
Yang bertugas di SLTP 1 Dander, Bojonegoro

Sumber: Radar Bojonegoro, Rabu, 31 Januari 2001.

No comments: