Thursday, May 8, 2008

Peningkatan Pelayanan Pendidikan

Oleh: ZAINUDDIN

Bahwa tuntutan akan jasa pelayanan pendidikan yang merata/luas, bermutu dan efisien kian menguat. Tuntutan ini semakin terasa dengan berkembangnya isu global dan lokal yang terangkat dari kesadaran menjaga kesinambungan peradaban, serta besarnya problem kehidupan yang belum teratasi. Isu-isu itu antara lain :

1. Menguatnya tuntutan kehidupan modern akan tenaga kerja yang terdidik, cakap dan terampil.
2. Kemajuan kehidupan global menuntut warga dunia memiliki wawasan luas, toleran dan berkecakapan tinggi.
3. Pesatnya kemajuan kultur dan peradaban modern yang bertumpu pada pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi.
4. Menguatnya kecenderungan penyimpangan perilaku, melanggar norma-norma kehidupan dan mengangkangi harkat kemanusiaan.
5. Meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan dengan segala dampaknya.
6. Meningkatnya angka kenakalan dan kejahatan yang melibat anak-anak usia sekolah.
7. Pendidikan belum optimal memberikan dampak transformatif bagi pengembangan seluruh potensi peserta didik. Potensi rohani tidak sepenuhnya teraktualisasikan, dan sasaran pembelajaran tidak menjangkau kedalaman profil hayati.
8. Kultur rohani tidak berkembang sebagaimana idealnya sehingga perkembangan kehidupan global terindikasi mengalami degradasi, perpecahan, ketimpangan dan penyimpangan serius.
9. Melemahnya apresiasi integritas dan harkat kemanusiaan yang membawa risiko distorsi terhadap lingkungan dan semua aspek kehidupan.
10. Ketidakstabilan pengelolaan kehidupan global (terindikasi secara politik dan ekonomi) yang menyadarkan warga dunia untuk mengadakan reorientasi menuju kehidupan bersama yang lebih adil, aman dan sejahtera.

Jelas bahwa problem sosial itu bertautan dengan kedalaman kerja bidang pendidikan. Oleh sebab itu tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa pendidikan merupakan kegiatan strategis (sekaligus krusial) dalam pembangunan dan pengembangan kehidupan umum. Proposisi ini dapat dijelaskan bahwa jika kepentingan pendidikan terjawab dengan peningkatan pelayanan yang signifikan, maka hajat membangun kehidupan ini akan menuai kemajuan yang ideal. Sebaliknya, isu itu tetap menjadi masalah besar jika pelayanan pendidikan lunglai tak beranjak.

Akar sebab menurunnya citra pelayanan publik, tak terkecuali di bidang pendidikan, bersentuhan dengan lemahnya kemampuan mencarikan jalan keluar terhadap isu-isu kehidupan publik itu. Berkenaan dengan permasalahan makro itu, penyelenggaraan pendidikan perlu mengadakan reorientasi. Mengadakan redefinisi kerja, menentukan kebijakan strategis serta menuang program-program pelayanan yang berketajaman tinggi, meningkatkan keberdayaan (kompetensi) peserta didik secara signifikan.

Selaras dengan kebijakan Depdiknas, Dinas Pendidikan Kabupaten Bojonegoro memancang tiga pilar kebijakan :

1. Pemerataan dan perluasan akses pendidikan.
2. Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing.
3. Penguatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik.

Program strategis disusun untuk memberikan jasa pelayanan pendidikan, yang dalam aspek-aspek teknis meliputi : pendidikan anak usia dini, TK dan SD; pendidikan menengah umum dan kejuruan; serta pendidikan masyarakat, pemuda dan olah raga. Dalam kegiatan aktual, program tersebut dilaksanakan secara otonom, disamping ada yang berkolaborasi dengan kegiatan dekonsentrasi (propinsi) dan kegiatan pusat (Depdiknas). Aktualisasi program itu mengalir sampai ke level kelas atau tataran kegiatan, dimana berlangsung pelayanan pendidikan dan pembelajaran bagi peserta didik.

Aktualisasi Kebijakan

1.Pemerataan dan perluasan akses pendidikan
a. Melaksanakan pembangunan USB/UGB.
b. Melaksanakan pembangunan RKB.
c. Melaksanakan rehabilitasi gedung.
d. Peningkatan ketersediaan dan kesiapan sarana/fasilitas pendukung.
e. Pemberdayaan siswa melalui bea siswa dan bantuan lainnya.
f. Meningkatkan pelayanaan pendidikan melalui jalur sekolah dan luar sekolah.

2.Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing
a. Penerapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) dalam penyelenggaraan pendidikan.
b. Melaksanakan akreditasi sekolah.
c. Melaksanakan kegiatan pendidikan dan pembelajaran dengan menggunakan fasilitas ICT.
d. Meningkatkan manajemen sekolah dengan pola SSN dan RSBI.
e. Meningkatkan profesionalisme dan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan.
f. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembelajaran yang berorientasi pada aktualisasi potensi rohani dan peningkatan kompetensi siswa.
g. Meningkatkan apresiasi siswa terhadap etika, sains, teknologi, seni dan olah raga.

3.Penguatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik
a. Peningkatan kapasitas dan kompetensi manajerial aparat.
b. Peningkatan kapasitas dan kompetensi aparat dalam bidang perencanaan dan penganggaran.
c. Peningkatan ketaatan aparat pada peraturan perundang-undangan.
d. Peningkatan pembinaan etika dan integritas aparat.
e. Peningkatan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan monitoring dan evaluasi program.
f. Peningkatan apresiasi pengawasan internal dan eksternal.

Penulis adalah Kepala Subdin Pendidikan Menengah
Dinas Pendidikan Kab. Bojonegoro.

Selengkapnya.....

Guru Dalam Tantangan Kultural

Oleh : ZAINUDDIN

Dengan penantian yang melelahkan, kabar gembira untuk guru akhirnya tiba. Diawali dengan perjuangan memperoleh jaminan profesional, pengakuan kompetensi, sampai kesediaan pemerintah membayar tunjangan profesi.
Anugrah ini memang dirintis oleh berkembangnya keprihatinan dan opini publik tentang potret pendidikan dan nasib guru di negeri ini. Terartikulasikan dengan detail melalui perdebatan panjang antar pihak-pihak pengambil keputusan hingga akhirnya mengikat kesepakatan, ditandai dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Performa guru mengalami reidealisasi dan revitalisasi dengan kebijakan publik ini. “Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional” (Bab IV Pasal 8). Dalam makna yang dalam, undang-undang ini telah menunjukkan peta kepemilikan guru untuk dapat menjalankan tugas profesi, menjaga integritas dan mengangkat martabatnya.

Secara teknis guru difasilitasi untuk menjalani uji kompetensi melalui penilaian portofolio atau pendidikan profesi untuk memperoleh sertifikat pendidik. Apabila telah mengantongi sertifikat dimaksud, mereka mendapat tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok.

Kebijakan yang cukup populer di kalangan pendidik ini kembali membangkitkan keyakinan dan optimisme. Betapa tidak, karena kinerja guru dan mutu pendidikan cukup lama distigmakan. Tidak kunjung meraih kemajuan yang berarti, jauh tertinggal dari raihan negeri manca. Guru dengan jaminan profesionalisme dan kompetensi diharapkan memecah kebuntuan itu. Pendidikan dipercaya tegap kembali menebar kebangkitan.

Fokus Panggilan Profesi

Memperoleh jasa pelayanan pendidikan menjadi bagian dari sekian panjang daftar kepentingan masyarakat. Jika terbersit tanda-tanda kebangkitan, sambutan dan dukungan segera datang menjemput. Timbul harapan baru akan mendapat kepuasan dari pelayanan yang bertambah. Kepentingan dan harapan umum itu adalah panggilan profesi. Seruan untuk mengulurkan ketulusan dan kesungguhan. Panggilan menyajikan produk ilmu dan amal, memenuhi kepentingan, meluluskan harapan.

Diperlukan kesadaran dan kepekaan untuk dengan mudah mendengar dan menunaikan panggilan itu. Keluasan wawasan ilmu, intensitas pengalaman dan penghayatan spiritual dapat mendorong timbulnya kearifan dan keinsafan itu. Dalam timbangan yang wajar, unsur-unsur dasar itu ada pada guru. Dengan itu mereka paham esensi, misi dan visi hidup. Dari situ mereka bangkit menyambut panggilan profesi.

Membulatkan hati untuk berkarir sebagai guru adalah akad untuk menerima mandat/amanat sebagai pelayan pendidikan. Keputusan hati itu menuntut tanggung jawab dan konsistensi, karena jasa pelayanan pendidikan itu bersifat khas dan unik. Hanya guru (pendidik) yang bisa profesional menunaikannya. Karena mereka memiliki ilmu dan kompetensi khusus untuk jasa pelayanan publik itu. Dengan tanggung jawab profesional, guru terpanggil dan fokus menjalankan tugas profesinya. Terbengkalai kepentingan umum itu, jika guru tidak konsisten dalam tugasnya. Tuntutan konsentrasi itu wajar adanya. Setiap pekerjaan butuh ketekunan, lebih-lebih pekerjaan mendidik.

Integritas dan Komitmen

Karena kuatnya tekanan eksternal, ada risiko bahwa guru mengesampingkan panggilan jiwa. Bekerja tidak sepenuh hati dan tidak optimal menuang tenaga. Bahkan ada yang larut dalam perbuatan tidak patut, mencederai keluhuran profesi dan menurunkan tingkat kepercayaan publik. Ini semua kerap terjadi lantaran lemahnya integritas dan rendahnya komitmen profesional.

Cukup terasa bahwa “insiden” guru itu memakan waktu dan membuang energi. Konsentrasi pelayanan dan pemberdayaan siswa terganggu dan otomatis pencitraan dunia pendidikan meredup, pucat pasi. Pengalaman ini tentu tidak aneh, mengingat peran guru yang amat strategis. Berpengaruh besar dan signifikan dalam semua pilihan pelayanan. Jadi benar adanya bahwa keberlangsungan, keberhasilan dan citra pendidikan memang bertumpu pada kerja-kerja guru.

Belum ada tanda-tanda, gelombang godaan itu akan surut. Kehidupan sosial dan kebudayaan yang tertawan oleh materialisme nan hedonis; prospek ekonomi yang tak menentu serta dinamika politik yang tak kunjung stabil; mengisyaratkan tantangan pendidikan masih terus menganga. Problem makro itu menumpahkan berbagai macam penyimpangan perilaku yang mengangkangi nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Tak ayal bila setiap hari selalu ada suguhan drama eksploitasi, mafia, kezaliman dan kejahatan dengan segala derivatifnya. Semua berisiko masuk dalam ranah pendidikan. Dampaknya sangat serius, tidak kecuali melemahkan kepribadian dan kinerja pendidik. Ujung-ujungnya menurunkan efektivitas pendidikan.

Beruntung masih ada yang kokoh dengan idealisme, integritas dan komitmen profesional. Mereka punya impian masa depan yang terus mengilhami dan mendorong semangat kerja. Sadar akan karakter dan harga diri, serta berpenampilan ikhlas mengemban tugas ditengah terpaan rintangan.

Tangan dingin mereka banyak andil menumbuhkan anak-anak unggul, berprestasi tinggi hingga ke negeri manca. Rekan sejawat, anak didik, orang tua bahkan masyarakat sekitar mengapresiasi mereka sebagai agen pembelajaran dan pembaruan. Dalam kancah kehidupan luas, mereka banyak ambil peran dalam kegiatan sosial, keagamaan dan pengembangan profesi.

Adanya kiprah serupa, meski dalam skala kecil, sudah cukup memberi arti bagi kehadiran pendidikan. Misi dan berkah pendidikan bisa tersemai dan merambah ke semua lini kehidupan. Pendidikan menjadi eksis sebagai bagian dari kekuatan kultural.

Bangun Kultur Rohani

Kebudayaan terus bergerak menuang karya menawarkan kenyamanan. Jika dilihat dengan tolok ukur fisik (material), kebudayaan kontemporer memang maju pesat. Dan seolah tak pernah lelah menghela kemajuan. Tak ada interest dan kebutuhan dibiar lewat tak kesampaian. Tak ada waktu dibiar berlalu tanpa kreasi dan perubahan. Gairah kultural itu kini telah melampaui kemajuan luar biasa.

Pasar global, kapitalisme liberal dan persaingan bebas adalah simpul-simpul kendali yang menentukan degup kehidupan masa kini. Dalam kenyataan aktual, efek kendali itu memang sangat kuat. Mampu mempengaruhi orang sejagad, menembus batas-batas konvensional. Sanggup mengubah pola dan gaya hidup, melangkahi tata nilai dan norma-norma. Tidak ada satu pun ranah hayati ini luput dari kontrol kekuatan liberal.

Akibatnya, dibalik peluang menikmati hidup yang berlebih itu, ada tampilan tak indah mengganggu harmoni kultural. Mudah terjadi penyimpangan perilaku dalam segala bentuk kezaliman dan kejahatan. Betapa dari situ timbul keterpurukan hayati dan kerusakan lingkungan dengan segala imbasnya yang tak berujung. Semua berpangkal dari lemahnya komitmen ilahiah dan rendahnya apresiasi nilai kemanusiaan.

Unsur-unsur kekuatan rohani memang belum tumbuh sepenuhnya. Potensi batin itu tampaknya dibiar tumbuh dengan sendirinya. Belum ada upaya serius membangunnya. Ranah kekuatan jiwa itu belum berkembang menjadi kultur rohani yang kuat. Kelemahan itu terindikasi dengan rendahnya mutu tampilan keseharian. Tampak tidak ada energi rohani yang membangkitkan optimisme dan impian masa depan. Tidak ada kekuatan untuk meneguhkan perilaku terpuji. Dan tidak ada link rohani yang menaut hati sesama. Melihat kecenderungan kehidupan lokal-global yang kian memprihatinkan, saatnya upaya serius membangun kultur rohani mulai dipasang.

Kekuatan Kultural

Semua aspek perhidmatan umum tak terkecuali bidang pendidikan mengikuti arus deras kehidupan global. Pendidikan terkungkung dalam pusaran akademik-intelektualistik yang dituang dalam pajangan angka-angka. Nyaris tak menimbang bobot afektif-spiritual dalam simbol-simbol capaiannya. Guru dan murid dibuai (dipaksa?) mengejar hasil belajar dengan indikator kuantitatif karena hanya dengan itu kerja mereka dihargai. Potensi rohani tidak sepenuhnya teraktualisasikan. Sasaran pembelajaran tidak menjangkau kedalaman profil hayati.

Jika tren budaya kian jauh meninggalkan martabat insani, dan pendidikan terkulai kehilangan orientasi, maka tidak ada lagi yang diandalkan mampu memberi pembelaan dan proteksi terhadap keagungan harmoni kemanusiaan. Bila ini dibiarkan berlarut, tidak mustahil akan terjadi krisis kehidupan yang rumit dan berkepanjangan.

Dengan kepekaan naluri pendidik, guru mudah merasakan problem sosial itu. Dalam forum kesejawatan dan kajian-kajian umum, keprihatinan itu kerap mengemuka. Dan untuk ikhtiar membangun kultur sekolah, isu-isu sosial itu justru menjadi argumen revitalisasi tampilan dan pelayanan. Pada level kelas pun guru melakukan reorientasi pembelajaran. Semua dilakukan merujuk pada tuntutan citra sekolah yang berbudaya. Ditandai dengan berkembangnya komunikasi dan interaksi yang tulus, mengusung misi manusiawi, how to live together.

Namun bisa jadi bak setetes air di padang pasir. Apalah artinya tindakan guru di level kelas dibanding hiruk pikuk keramaian pasar global yang merambah hingga bilik-bilik sekolah. Apalah artinya semua itu dibanding kepongahan politik culas yang mencabik-cabik dan melumat sampai ke pojok-pojok kampung. Risiko bias gaya hidup modern begitu gagah mendekap seantero jagad. Pendidikan pun dibuatnya lunglai, tak kuasa menahan diri menetapi arah.

Membiarkan pendidikan dibekap seperti itu tentulah tidak lazim. Sejarah berulang-ulang mengajari bahwa gagasan dan gerakan pembaruan selalu bangkit dari kancah pendidikan. Pendidikan adalah kekuatan kultural. Dimana ditempa karakter dan idealisme yang kuat. Dari padanya berkembang wawasan, sikap kritis dan terbuka. Dari situ peri kehidupan dikoreksi. Dan dari situ perjalanan kultur diluruskan.

Berkepentingan dengan pendidikan tentu karena keinginan membangun kehidupan yang tercerahkan serta menyiapkan tunas-tunas penerus yang lebih unggul. Keinginan itu mengandaikan adanya wahana tempaan yang kondusif dengan peran pendidik yang visioner, sanggup memberdayakan anak didik untuk peran-peran masa depan.

Gugus tugas guru berangkai panjang dari kepentingan publik hingga masa depan anak didik. Pekerjaannya menyambut tuntutan hari ini yang bertilas sampai berturun-turun nanti. Kemampuannya dituntut andal dan tampilannya digambar elok. Seindah impian orang tua untuk anaknya. “Engkau sebagai pelita dalam kegelapan, Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan, Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa”, demikian himne itu membangun citra guru.

Peran seluhur itu diemban guru dalam tantangan kultural yang kelewat berat. Sudah selayaknya ada sekerat anugerah. Dan yang lebih penting, sudah saatnya mengulur hati merasa bersama!

Penulis adalah Peminat Pembaruan Pendidikan,
Tinggal di Bojonegoro.
Sumber: Widya, Edisi Bulan April 2008, halaman 21-23

Selengkapnya.....

Reposisi dan Reaktualisasi Pendidikan Hikmah

Oleh: ZAINUDDIN

Para nabi dan rasul
ARTIKEL READMORE

ARTIKEL LENGKAP

Selengkapnya.....

Energi Cinta

Oleh: ZAINUDDIN

Logika cinta
ARTIKEL READMORE

ARTIKEL LENGKAP

Selengkapnya.....

Pengembangan Kultur Sekolah

Menggalang Pembelajaran Berbasis Karakter

Oleh: ZAINUDDIN

Kebudayaan menunjukkan kesanggupan untuk menampilkan karakter dasar (basic character) manusia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Kuasa, dalam dinamika kehidupan nyata. Karakter dasar itu adalah sifat-sifat utama yang secara azali melekat dalam penciptaan manusia, yang seterusnya menjadi tabiat dan pembawaan hidup yang menyatu dalam totalitas kehidupannya. Sifat-sifat dimaksud, untuk menyebut beberapa saja, seperti tunduk kepada Tuhan, kasih-sayang, adil, setia kawan, bersih, jujur, melindungi, memelihara, kreatif, mampu menguasai diri (memimpin), sabar, santun dan sebagainya.

Sifat-sifat dasar itu secara kodrati menjadi khazanah integritas kepribadian, yang karenanya secara universal menentukan harkat dan kehormatan manusia. Dalam tataran perilaku, sifat-sifat ideal itu telah menjadi nilai-nilai (values) yang berlaku sebagai rujukan dan tolok ukur tindak-tanduk seseorang, kelompok dan bahkan masyarakat luas. Dalam tampilan makro, nilai-nilai itu berkorelasi dengan perkembangan kultur. Artinya, tinggi-rendahnya peradaban dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan oleh kadar kesanggupan mereka untuk mengaktualisasikan khazanah nilai-nilai itu. Dalam kondisi normal, aktualisasi itu akan terus mengalir dalam tampilan kultural dengan segala aspeknya.

Kadar kesanggupan itu tidaklah terbentuk dengan sendirinya, tanpa intervensi dan pemberdayaan. Perlu waktu panjang dan kerja keras untuk itu. Tidak jarang terjadi bahwa keberhasilan perjuangan itu harus dibayar dengan pengorbanan-pengorbanan. Justru disinilah letak keunikan dan syarat perkembangan suatu kultur. Bahwa kemajuan-kemajuan itu ditunjukkan oleh meningkatnya kemampuan masyarakat. Dan kemampuan itu tidak akan diperoleh kecuali melalui proses pendidikan, yang didalamnya terdapat aktivitas pembelajaran, pelatihan & bimbingan, serta pola-pola interaksi lainnya. Dalam perkembangan kebudayaan, proses itulah yang memerlukan intervensi dan pemberdayaan. Bisa jadi proses itu akan menempuh jalan panjang dan beragam karena kompleksnya tuntutan perkembangan kehidupan. Tetapi yang terpenting dalam proses budaya itu adalah bahwa secara dini “peserta didik” telah memiliki pengetahuan yang cukup tentang karakter dasar dan khazanah kepribadian yang wajib dirujuk dalam setiap kegiatan belajar. Perkembangan kultur dalam arti yang sebenarnya, baru dapat dinyatakan berlangsung jika kebutuhan terpenting itu terpenuhi. Bekal awal itulah yang dapat menjamin bahwa insan budaya akan setia menjaga dan membela kehormatan dirinya.

Sekolah adalah satuan pendidikan yang secara manajerial memberikan produk – berupa jasa pelayanan pendidikan – kepada peserta didik. Jasa pelayanan itu dibentuk dan dimatangkan dari pelbagai daya dukung (fisik dan non fisik), termasuk didalamnya masukan kultural. Dengan masukan komprehensif, jasa pelayanan itu memiliki kekuatan transformatif yang tinggi, relevan dengan tuntutan kehidupan masyarakat luas, dan dapat dipertanggung jawabkan menurut perspektif kultural. Yang terakhir ini mengartikan bahwa khazanah nilai-nilai budaya itu tampak menyatu dalam aspek-aspek pelayanan pendidikan.

Gambaran tentang kerja manajemen diatas dapat memetakan pengembangan kultur di sekolah :

1. Bahwa pengembangan kultur sekolah dilakukan dalam setiap kegiatan manajemen, sekurang-kurangya mulai dari perencanaan produk, penyusunan (pembuatan) produk, sampai pada penyampaian produk kepada siswa.
2. Perencanaan produk dilakukan untuk menentukan jenis dan spesifikasi pelayanan yang akan diberikan kepada siswa.
3. Produk pelayanan disusun (dibentuk) dengan mengidentifikasi dan memastikan kesiapan daya dukung yang diperlukan.
4. Produk manajemen – berupa jasa pelayanan pendidikan – diberikan kepada siswa melalui kegiatan pengajaran, pelatihan dan bimbingan serta pola-pola interaksi lainnya.
5. Seluruh kegiatan manajemen terorganisir dengan rapi dan solid, melibatkan semua unsur fungsional sekolah – level manajemen, profesional dan kelas. Didalamnya terjadi dinamika yang ditandai dengan adanya komunikasi, interaksi dan kolaborasi, yang dilakukan oleh semua warga sekolah.

Jika semua kegiatan itu membawa muatan kultural, mengemban misi aktualisasi khazanah integritas kepribadian universal, maka pengembangan kultur sekolah telah berjalan, diusung oleh semua komponen masyarakat sekolah. Keterpaduan dan kekompakan ini terindikasikan dalam kebijakan, struktur, latar fisik, suasana, hubungan dan sistem sekolah, yang secara produktif memberikan pengalaman bermakna, utamanya bagi peserta didik.

Performa manajemen sekolah, begitu juga kerjanya, ditandai dengan berkembangnya produk-produk pelayanan yang bermutu, yang mampu memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi pertumbuhan kepribadian peserta didik. Pertumbuhan itu tampak dengan adanya komitmen dan kesanggupan untuk menampilkan khazanah integritas kepribadian itu dalam perilaku yang wajar dan utuh. Sebagai kekuatan budaya, sekolah mengemban penuh mandat itu meskipun (pada era kekinian) berhadapan dengan tren kehidupan umum yang menjauh dari tuntutan kultural sejati.

Untuk fungsi itu, sekolah merancang produk pelayanan pendidikan dengan model-model yang kreatif dan bervariasi, berintikan pemberdayaan siswa untuk menumbuhkan karakter dasar dan potensi dirinya. Sebagai produk manajemen, pelayanan itu lahir dari proses yang matang, berlangsung dalam tahap-tahap yang teratur, melibat daya dukung semua unsur sekolah, dan kontribusi komponen eksternal, serta melalui uji penjaminan mutu yang transparan dan obyektif. Dengan proses itu, pelayanan sekolah telah meyakinkan sebagai produk yang berbobot, layak dan laku.

Berorientasi pada pengembangan kultur, model-model produk pelayanan itu didesain dengan pertimbangan yang jelas, memberikan ruang dan mengakses kepentingan pengembangan karakter dan potensi peserta didik. Desain produk itu setidak-tidaknya memberikan peluang kepada siswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan dasar pengembangan kultur, seperti observasi, kontemplasi dan aktualisasi. Dari segi isi (content), kegiatan itu bermaterikan penjabaran unsur-unsur kurikulum/silabus, serta wawasan kultural yang diangkat dari khazanah integritas ideal dan tampilan riil kultur masyarakat luas. Kedua unsur materi itu digelar secara terpadu sehingga memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi keutuhan perkembangan siswa.

Penulis adalah Kepala Subdin Pendidikan Menengah
Dinas Pendidikan Kab. Bojonegoro.
Sumber: Jatim Plus, Edisi 21 Th. II Feb. 2006

Selengkapnya.....

Menyingkap Tabir Fitratallah

Oleh: ZAINUDDIN
ARTIKEL READMORE

ARTIKEL LENGKAP

Selengkapnya.....

Musafir Ke Tanah Suci Menjalani Diklat Insani

Salam Ta’zhim dan Pesan Silaturrahim buat Calon Jamaah Haji 1425 H.

Oleh: ZAINUDDIN
ARTIKEL READMORE

ARTIKEL LENGKAP

Selengkapnya.....