Thursday, May 8, 2008

Guru Dalam Tantangan Kultural

Oleh : ZAINUDDIN

Dengan penantian yang melelahkan, kabar gembira untuk guru akhirnya tiba. Diawali dengan perjuangan memperoleh jaminan profesional, pengakuan kompetensi, sampai kesediaan pemerintah membayar tunjangan profesi.
Anugrah ini memang dirintis oleh berkembangnya keprihatinan dan opini publik tentang potret pendidikan dan nasib guru di negeri ini. Terartikulasikan dengan detail melalui perdebatan panjang antar pihak-pihak pengambil keputusan hingga akhirnya mengikat kesepakatan, ditandai dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Performa guru mengalami reidealisasi dan revitalisasi dengan kebijakan publik ini. “Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional” (Bab IV Pasal 8). Dalam makna yang dalam, undang-undang ini telah menunjukkan peta kepemilikan guru untuk dapat menjalankan tugas profesi, menjaga integritas dan mengangkat martabatnya.

Secara teknis guru difasilitasi untuk menjalani uji kompetensi melalui penilaian portofolio atau pendidikan profesi untuk memperoleh sertifikat pendidik. Apabila telah mengantongi sertifikat dimaksud, mereka mendapat tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok.

Kebijakan yang cukup populer di kalangan pendidik ini kembali membangkitkan keyakinan dan optimisme. Betapa tidak, karena kinerja guru dan mutu pendidikan cukup lama distigmakan. Tidak kunjung meraih kemajuan yang berarti, jauh tertinggal dari raihan negeri manca. Guru dengan jaminan profesionalisme dan kompetensi diharapkan memecah kebuntuan itu. Pendidikan dipercaya tegap kembali menebar kebangkitan.

Fokus Panggilan Profesi

Memperoleh jasa pelayanan pendidikan menjadi bagian dari sekian panjang daftar kepentingan masyarakat. Jika terbersit tanda-tanda kebangkitan, sambutan dan dukungan segera datang menjemput. Timbul harapan baru akan mendapat kepuasan dari pelayanan yang bertambah. Kepentingan dan harapan umum itu adalah panggilan profesi. Seruan untuk mengulurkan ketulusan dan kesungguhan. Panggilan menyajikan produk ilmu dan amal, memenuhi kepentingan, meluluskan harapan.

Diperlukan kesadaran dan kepekaan untuk dengan mudah mendengar dan menunaikan panggilan itu. Keluasan wawasan ilmu, intensitas pengalaman dan penghayatan spiritual dapat mendorong timbulnya kearifan dan keinsafan itu. Dalam timbangan yang wajar, unsur-unsur dasar itu ada pada guru. Dengan itu mereka paham esensi, misi dan visi hidup. Dari situ mereka bangkit menyambut panggilan profesi.

Membulatkan hati untuk berkarir sebagai guru adalah akad untuk menerima mandat/amanat sebagai pelayan pendidikan. Keputusan hati itu menuntut tanggung jawab dan konsistensi, karena jasa pelayanan pendidikan itu bersifat khas dan unik. Hanya guru (pendidik) yang bisa profesional menunaikannya. Karena mereka memiliki ilmu dan kompetensi khusus untuk jasa pelayanan publik itu. Dengan tanggung jawab profesional, guru terpanggil dan fokus menjalankan tugas profesinya. Terbengkalai kepentingan umum itu, jika guru tidak konsisten dalam tugasnya. Tuntutan konsentrasi itu wajar adanya. Setiap pekerjaan butuh ketekunan, lebih-lebih pekerjaan mendidik.

Integritas dan Komitmen

Karena kuatnya tekanan eksternal, ada risiko bahwa guru mengesampingkan panggilan jiwa. Bekerja tidak sepenuh hati dan tidak optimal menuang tenaga. Bahkan ada yang larut dalam perbuatan tidak patut, mencederai keluhuran profesi dan menurunkan tingkat kepercayaan publik. Ini semua kerap terjadi lantaran lemahnya integritas dan rendahnya komitmen profesional.

Cukup terasa bahwa “insiden” guru itu memakan waktu dan membuang energi. Konsentrasi pelayanan dan pemberdayaan siswa terganggu dan otomatis pencitraan dunia pendidikan meredup, pucat pasi. Pengalaman ini tentu tidak aneh, mengingat peran guru yang amat strategis. Berpengaruh besar dan signifikan dalam semua pilihan pelayanan. Jadi benar adanya bahwa keberlangsungan, keberhasilan dan citra pendidikan memang bertumpu pada kerja-kerja guru.

Belum ada tanda-tanda, gelombang godaan itu akan surut. Kehidupan sosial dan kebudayaan yang tertawan oleh materialisme nan hedonis; prospek ekonomi yang tak menentu serta dinamika politik yang tak kunjung stabil; mengisyaratkan tantangan pendidikan masih terus menganga. Problem makro itu menumpahkan berbagai macam penyimpangan perilaku yang mengangkangi nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Tak ayal bila setiap hari selalu ada suguhan drama eksploitasi, mafia, kezaliman dan kejahatan dengan segala derivatifnya. Semua berisiko masuk dalam ranah pendidikan. Dampaknya sangat serius, tidak kecuali melemahkan kepribadian dan kinerja pendidik. Ujung-ujungnya menurunkan efektivitas pendidikan.

Beruntung masih ada yang kokoh dengan idealisme, integritas dan komitmen profesional. Mereka punya impian masa depan yang terus mengilhami dan mendorong semangat kerja. Sadar akan karakter dan harga diri, serta berpenampilan ikhlas mengemban tugas ditengah terpaan rintangan.

Tangan dingin mereka banyak andil menumbuhkan anak-anak unggul, berprestasi tinggi hingga ke negeri manca. Rekan sejawat, anak didik, orang tua bahkan masyarakat sekitar mengapresiasi mereka sebagai agen pembelajaran dan pembaruan. Dalam kancah kehidupan luas, mereka banyak ambil peran dalam kegiatan sosial, keagamaan dan pengembangan profesi.

Adanya kiprah serupa, meski dalam skala kecil, sudah cukup memberi arti bagi kehadiran pendidikan. Misi dan berkah pendidikan bisa tersemai dan merambah ke semua lini kehidupan. Pendidikan menjadi eksis sebagai bagian dari kekuatan kultural.

Bangun Kultur Rohani

Kebudayaan terus bergerak menuang karya menawarkan kenyamanan. Jika dilihat dengan tolok ukur fisik (material), kebudayaan kontemporer memang maju pesat. Dan seolah tak pernah lelah menghela kemajuan. Tak ada interest dan kebutuhan dibiar lewat tak kesampaian. Tak ada waktu dibiar berlalu tanpa kreasi dan perubahan. Gairah kultural itu kini telah melampaui kemajuan luar biasa.

Pasar global, kapitalisme liberal dan persaingan bebas adalah simpul-simpul kendali yang menentukan degup kehidupan masa kini. Dalam kenyataan aktual, efek kendali itu memang sangat kuat. Mampu mempengaruhi orang sejagad, menembus batas-batas konvensional. Sanggup mengubah pola dan gaya hidup, melangkahi tata nilai dan norma-norma. Tidak ada satu pun ranah hayati ini luput dari kontrol kekuatan liberal.

Akibatnya, dibalik peluang menikmati hidup yang berlebih itu, ada tampilan tak indah mengganggu harmoni kultural. Mudah terjadi penyimpangan perilaku dalam segala bentuk kezaliman dan kejahatan. Betapa dari situ timbul keterpurukan hayati dan kerusakan lingkungan dengan segala imbasnya yang tak berujung. Semua berpangkal dari lemahnya komitmen ilahiah dan rendahnya apresiasi nilai kemanusiaan.

Unsur-unsur kekuatan rohani memang belum tumbuh sepenuhnya. Potensi batin itu tampaknya dibiar tumbuh dengan sendirinya. Belum ada upaya serius membangunnya. Ranah kekuatan jiwa itu belum berkembang menjadi kultur rohani yang kuat. Kelemahan itu terindikasi dengan rendahnya mutu tampilan keseharian. Tampak tidak ada energi rohani yang membangkitkan optimisme dan impian masa depan. Tidak ada kekuatan untuk meneguhkan perilaku terpuji. Dan tidak ada link rohani yang menaut hati sesama. Melihat kecenderungan kehidupan lokal-global yang kian memprihatinkan, saatnya upaya serius membangun kultur rohani mulai dipasang.

Kekuatan Kultural

Semua aspek perhidmatan umum tak terkecuali bidang pendidikan mengikuti arus deras kehidupan global. Pendidikan terkungkung dalam pusaran akademik-intelektualistik yang dituang dalam pajangan angka-angka. Nyaris tak menimbang bobot afektif-spiritual dalam simbol-simbol capaiannya. Guru dan murid dibuai (dipaksa?) mengejar hasil belajar dengan indikator kuantitatif karena hanya dengan itu kerja mereka dihargai. Potensi rohani tidak sepenuhnya teraktualisasikan. Sasaran pembelajaran tidak menjangkau kedalaman profil hayati.

Jika tren budaya kian jauh meninggalkan martabat insani, dan pendidikan terkulai kehilangan orientasi, maka tidak ada lagi yang diandalkan mampu memberi pembelaan dan proteksi terhadap keagungan harmoni kemanusiaan. Bila ini dibiarkan berlarut, tidak mustahil akan terjadi krisis kehidupan yang rumit dan berkepanjangan.

Dengan kepekaan naluri pendidik, guru mudah merasakan problem sosial itu. Dalam forum kesejawatan dan kajian-kajian umum, keprihatinan itu kerap mengemuka. Dan untuk ikhtiar membangun kultur sekolah, isu-isu sosial itu justru menjadi argumen revitalisasi tampilan dan pelayanan. Pada level kelas pun guru melakukan reorientasi pembelajaran. Semua dilakukan merujuk pada tuntutan citra sekolah yang berbudaya. Ditandai dengan berkembangnya komunikasi dan interaksi yang tulus, mengusung misi manusiawi, how to live together.

Namun bisa jadi bak setetes air di padang pasir. Apalah artinya tindakan guru di level kelas dibanding hiruk pikuk keramaian pasar global yang merambah hingga bilik-bilik sekolah. Apalah artinya semua itu dibanding kepongahan politik culas yang mencabik-cabik dan melumat sampai ke pojok-pojok kampung. Risiko bias gaya hidup modern begitu gagah mendekap seantero jagad. Pendidikan pun dibuatnya lunglai, tak kuasa menahan diri menetapi arah.

Membiarkan pendidikan dibekap seperti itu tentulah tidak lazim. Sejarah berulang-ulang mengajari bahwa gagasan dan gerakan pembaruan selalu bangkit dari kancah pendidikan. Pendidikan adalah kekuatan kultural. Dimana ditempa karakter dan idealisme yang kuat. Dari padanya berkembang wawasan, sikap kritis dan terbuka. Dari situ peri kehidupan dikoreksi. Dan dari situ perjalanan kultur diluruskan.

Berkepentingan dengan pendidikan tentu karena keinginan membangun kehidupan yang tercerahkan serta menyiapkan tunas-tunas penerus yang lebih unggul. Keinginan itu mengandaikan adanya wahana tempaan yang kondusif dengan peran pendidik yang visioner, sanggup memberdayakan anak didik untuk peran-peran masa depan.

Gugus tugas guru berangkai panjang dari kepentingan publik hingga masa depan anak didik. Pekerjaannya menyambut tuntutan hari ini yang bertilas sampai berturun-turun nanti. Kemampuannya dituntut andal dan tampilannya digambar elok. Seindah impian orang tua untuk anaknya. “Engkau sebagai pelita dalam kegelapan, Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan, Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa”, demikian himne itu membangun citra guru.

Peran seluhur itu diemban guru dalam tantangan kultural yang kelewat berat. Sudah selayaknya ada sekerat anugerah. Dan yang lebih penting, sudah saatnya mengulur hati merasa bersama!

Penulis adalah Peminat Pembaruan Pendidikan,
Tinggal di Bojonegoro.
Sumber: Widya, Edisi Bulan April 2008, halaman 21-23

No comments: